Oleh : Prof. Buyung Achmad Sjafei, Ph.D ~ Jakarta, 9 Pebruari 2009
Latar Belakang
Ini adalah judul tulisan Soekarno dalam “Fikiran Ra’yat”, 1933, yang kondisi waktu beliau menulisnya sangat berbeda dengan kondisi Indonesia sekarang ini. Dulu sebagai doels-actie Indonesia merdeka, sekarang Indonesia sudah merdeka, dan sebagai doels-actie adalah masyarakat adil dan makmur sebagai tujuan kemerdekaan Indonesia. Namun bagi Indonesia, pengertian doels-actie dan reform-actie masih sangat aktual sampai sekarang ini . Doels-actie adalah perubahan yang mendasar, sedangkan reform-actie adalah perbaikan-perbaikan yang tidak mendasar, atau perbaikan-perbaikan atas fondasi yang sudah ada. Bagi Indonesia dalam pembangunan memerlukan kedua-duanya baik doels-actie maupun reform-actie. Tanpa doels-actie kita tidak punya tujuan jangka panjang yang diimpikan oleh seluruh rakyat Indonesia, sebaliknya tanpa reform-actie, tanpa perbaikan sehari-hari rakyat akan menderita, dan doels-actie akhirnya tidak bisa dicapai.
Modal Dasar Pembangunan Indonesia
Pembangunan Indonesia memerlukan perubahan yang mendasar untuk merubah formasi ekonomi yang setengah kolonial dan setengah feodal manjadi formasi ekonomi-nasional demokrasi yang maju. Perubahan yang demikian itu sifatnya sangat mendasar, tidak mungkin hanya dengan melakukan reformasi atau perubahan yang implementatif saja. Pada awal kemerdekaan, sumber-sumber daya alam Indonesia masih utuh; jumlah penduduk masih sedikit; semangat nasionalisme dan perjuangan masih tinggi; daerah pedesaan masih asli mayoritas penduduk sebagai petani; tanah pertanian masih dimiliki oleh sebagian besar petani; daerah perkotaan belum penuh sesak; ketimpangan antara daerah pedesaan dengan daerah perkotaan belum mencolok; kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin masih belum tampak; urbanisasi masih rendah; semangat kegotong royongan masih hidup, walaupun pendidikan masih rendah namun nilai-nilai budaya bangsa masih dijunjung tinggi. Ini menjadi modal awal untuk pembangunan Indonesia modern.
Pancasila dan UUD ’45 masih punya Roh yang merupakan dasar idiil dan kostitusional bagi pembangunan Indonesia seutuhnya, dan pembangunan ekonomi khususnya. Dalam bidang pertanian terdapat UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) dan UUBH (Undang-Undang Bagi Hasil) yang mengatur tentang pemilikan tanah dan tata guna tanah, yang masih berlaku samapai sekarang ini.
Pembangunan periode Soekarno
Pada masa pemerintahan Soekarno, sebagai karya dari Dewan Perancang Nasional telah dibuat Rencana Pembangunan Semesta . Dalam “Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Berencana Tahapan Pertama 1961-1969” termasuk :
Bidang Mental/Agama/Kerohanian/Penelitian;
Bidang Kesejahteraan;
Bidang
Pemerintahan dan Keamanan/Pertahanan;
Bidang Distribusi dan Perhubungan;
Bidang Keuangan dan Pembiayaan; Ketentuan Pelaksanaan.
Dalam Bidang
Pemerintahan dan Keamanan : land reform; anti-kolonialisme dan
anti-imperialisme; pembangunan tata pedesaan yang demokratis.
Dalam Bidang
Produksi : pengutamaan produksi bahan keperluan hidup rakyat yang pokok menuju
pembagian pendapatan nasional yang adil dan merata; cabang-cabang produksi yang
vital bagi perkembangan perekonomian nasional dan menguasai hajat hidup rakyat
banyak dikuasai oleh Negara, kalau perlu dimiliki oleh Negara;
Dalam Bidang
Pembiayaan : diusahakan atas dasar kekuatan dalam negeri sendiri, dengan sejauh
mungkin tidak menambah beban rakyat; dapat diadakan kerjasama ekonomi dan teknik
dalam arti luas dengan luar negeri.
Semua itu didasarkan pada Tri Sakti, yaitu Berdaulat dalam Bidang Politik, Berdikari dalam Bidang Ekonomi, dan Berkepribadian dalam Bidang Kebudayaan. Tujuan jangka panjangnya atau doels-actie adalah masyarakat adil dan makmur.
Tetapi Rencana Pembangunan Semesta ini tidak pernah direalisasikan disebabkan tidak adanya kestabilan dan keamanan dalam negeri akibat gejolak-gejolak politik berkepanjangan, perjuangan dalam membebaskan Irian Barat , dan dilanjutkan dengan konfrontasi dengan Malaysia. Akhirnya Presiden Soekarno jatuh setelah peristiwa 30 September 1965.
Masa “Orba”
Setelah dijamah dengan pembangunan selama 32 tahun pada periode orde baru, formasi ekonomi Indonesia menjadi lebih buruk dibandingkan dengan awal kemerdekaan. Keadaan menjadi terbalik, sumber-sumber daya alam seperti hutan dan pertambangan semakin habis; induastri-industri yang dibangun menciptakan polusi; teknologi mutakir yang digunakan mempercepat terkorasnya sumber-sumber daya alam; tanah pertanian bagi petani semakin sempit; tanah-tanah pertanian yang terlantar semakin luas; bencana alam seperti banjir dan erosi akibat rusaknya lingkungan semakin sering terjadi; kesenjangan anatara orang miskin dan orang kaya semakin besar; kegotong-royongan atau kesetiakawanan sosial hampir lenyap; hutang luar negeri sangat besar; akhirnya ketergantungan perekonomian Indonesia pada negara-negara maju, terutama dari segi pembiayaan pembangunan.
Namun pemerintahan presidensiil Suharto sangat kuat dengan kepemimpinan yang otoriter. Pembangunan nasional dalam era orba masih memiliki tujuan jangka panjang yang tertuang dalam “Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)”, dan Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Masyarakat adil dan makmur berdasarkan Panca Sila tetap sebagai doels-actie, sedangkan reform-actie tertuang dalam buku Repelita, yaitu Rencana Pembangunan Lima Tahun sebagai realisasi dari GBHN. Juli 1997 mulai terjadi krisis moneter yang diiringi dengan krisis ekonomi dan krisis di semua bidang yang menjatuhkan Presiden Suharto.
Masa “Reformasi”
Sesuai dengan namanya “reformasi”, maka doels-actie hilang sama sekali dalam pemikiran para elit dan penguasa dalam pembangunan. Kalau dalam era orba masih ada GBHN dan Repelita, maka pada era reformasi dokumen seperti itu tidak ada lagi. Dengan demikain baik doels-actie maupun reform-actie tidak jelas dalam era reformasi. Pada masa orba, semua partai politik harus berazaskan Panca Sila, dan UUD ’45 dijadikan landasan konstitusional pembangunan; P4 didoktrinkan samapai ke kampus-kampus, bahkan samapai ke taman kanak-kanak. Pada era reformasi Panca Sila hampir tidak pernah dibicarakan mungkin karena “over dosis” waktu orba, UUD ’45 sudah diamandemen, sehingga sistem pemerintahan sekarang tidak kabur, tidak presidensiil, tidak juga parlementer. Hak prerogatif presiden tidak jelas, termasuk dalam pengangkatan para pembantu-pembantunya, sangat tergantung kepada pertimbangan politik di luar sana.
Era reformasi mewarisi keadaan ekonomi orba yang krisis, yang sampai saat ini tidak kunjung pulih. Rezim reformasi tampaknya masih malu-malu untuk mengikuti jejak ekonomi orba, tetapi alternatif lain tidak mampu ditemukan. Dalam pembangunan, orba berpedoman pada apa yang dinamakan : Tri Logi Pembangunan : Pemerataan Pendapatan, Pertumbuhan Ekonomi dan Stabilitas Politik dan Keamanan. Dalam era reformasi, penguasa hanya berani menyatakan pertumbuhan ekonomi, tidak pernah disinggung mengenai pemerataan pendapatan dan stabilitas politik. Sedangakn pertumbuhan ekonomi bukan satu-satunya indikator pembangunan. Apalagi kalau pertumbuhan ekonomi itu hanya disumbang oleh sektor-sektor yang dikuasai oleh asing, bukan oleh ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi tersebut akan mempercepat proses pemiskinan rakyat banyak, dan makin akan meningkatnya ketergantungan Indonesia pada modal asing, makin habisnya sumber-sumber daya alam Indonesia tanpa memberikan manfaat bagi rakyat Indonesia, makin dijadikannya Indonesia sebagai pasar surplus produksi industri negara-nagara maju.
Otonomi daerah, di samping sebagai tuntutan objektif daerah akibat sentralisasi yang berlebihan pada zaman orba, menjadi proyek para elit untuk memekarkan menjadi propinsi dan kabupaten dan kota. Sekarang ini dari sekitar 200 kabubaten dan kota sudah mencapai 477 kabupaten kota sebagai hasil dari pemekaran. Ternyata pemekaran tersebut tidak didasarkan pada strategi pembangunan nasional, tidak berdasarkan kemapuan sumber-sumber daya alam dan sumber daya manusia yang tersedia atau mamapu untuk disediakan. Akibatnya, sasaran otonomi daerah untuk mensejahterkan rakyat tidak tercapai, justeru menjadi beban dalam pembangunan nasional. Banyak kabupaten dan kota yang tidak melakukan perubahan apapun karena tidak siap untuk membangun.
Untuk melakukan perubahan baik yang sifatnya reform-actie, apalagi doels-actie memerlukan kekuatan nasional yang menyatu dalam satu kekuatan, mengerahkan semua kekuatan itu dan semua potensi dalam negeri yang ada hanya untuk pembangunan. Tetapi kemumgkinan seperti itu tidak ada sekarang ini, minimal dalam keadaan transisi seperti sekarang ini. Partai politik sangat banyak, karena setiap orang dapat mendirikan partai politik, walaupun tanpa suatu ideology. Partai-partai politik tidak mecerminkan kehidupan berpolitik yang sesungguhnya. Dengan demikian antara kehidupan politik dan sistem politik tidak “link and match” kalau boleh meminjam istilah Wardiman. Dengan demikian tidak ada satu kekuatanpun yang dapat melaksanakan perubahan. Partai-partai politik memiliki hanya satu agenda, bagaimana memenangkan pemilu dan pilpres untuk kekuasaan, sesudah itu saling berdebat dan kritik tanpa argumentasi, tanpa berbuat untuk perubahan baik reform-actie, apalagi doels-actie. Hal itu sangat jelas dari isi iklan mereka di TV-TV, dan spanduk-spanduk yang dipasang di pohon-pohon, bahkan di hutan belantara, foto-foto mereka di pasang di mana-mana dengan slogan-slogan singkat yang tidak bermakna, walaupun mengatas-namakan rakyat.
Yang sangat disayangkan adalah kaum intelektual yang seharusnya mencari kebenaran dan menunjukkan kebenaran pada masyarakat, justeru banyak yang terlibat dalam politik praktis yang ikut membodohi rakyat.
Perubahan memerlukan satu partai pelopor (bukan nama satu partai yang ada sekarang), yang memiliki suatu ideologi nasioanl-demokrasi yang kuat berdasarkan Panca Silla dan UUD ’45 dalam kerangka NKRI. Partai pelopor ini mendukung pemerintah yang melakukan perubahan-perubahan doels-actie seperti : meninjau kembali semua kontrak karya dengan perusahaan-perusahaan asing di bidang pertambangan seperti pertambangan Tembaga Pura di Timika, kontrak karya bidang minyak bumi dan gas bumi, yang harus menguntungkan pihak Indonesia; mengembalikan aset-aset BUMN yang telah dijual pada asing; melakukan perubahan-perubahan sosial di daerah pedesaan; memperlakukan UU Pokok Agraria dan UU Bagi Hasil dalam pemilikan tanah dan tata guna tanah; mengembalikan UUD ’45 khususnya pasal 33 ayat 1, 2, 3 sebagai dasar sistem perekonomian Indonesia; membentuk pemerintahan presidensiil yang kuat; mengembalikan musyawarah dan mufakat dengan sistem perwakilan sebagai azas demokrasi.
Dalam perubahan reform-actie, bahan-bahan pokok kebutuhan rakyat banyak harus tersedia yang cukup dengan harga yang terjangkau oleh masyarakt konsumen, namun tidak merugikan produsen, para petani. Indikator-indikator sosial harus menjadi perhatian dalam reform-actie, terutama menyangkut masalah pendidikan dan kesehatan masyarakat, dan lain-lain.
Inilah tugas pemimpin-pemimpin Indonesia yang akan datang, khususnya dalam pembangunan ekonomi. Untuk ini memerlukan pemimpin-pemimpin yang tegas dan berkarakter, dan memihak pada kepentingan nasional dan rakyatnya.
No comments:
Post a Comment